Dunia lagi
sakit-sakitnya karen COVID19 atau dikenal Corona.. Akibatnya beberapa negara di
dunia melakukan Lockdown. Yang belakangan ini juga jadi sering didenger.
Lockdown adalah sebuah
upaya menanggulangi penyebaran virus COVID-19, negara seperti Cina, Italia, dan
Spanyol berbondong-bondong menerapkan strategi itu. Dengan jumlah kasus
COVID-19 melonjak di Indonesia, wacana mengenai lockdown mulai banyak dibahas
dengan serius.
Lockdown adalah upaya membatasi pergerakan dari, ke, dan di dalam suatu wilayah
Hal terpenting dari
lockdown adalah pembatasan ruang gerak. Ketika suatu provinsi dikunci,
seperti yang terjadi pada provinsi Lombardy di Italia beberapa pekan lalu, tak
satu pun orang dapat keluar maupun masuk dari provinsi tersebut kecuali ada keadaan
darurat dan izin otoritas setempat.
Lockdown gila-gilaan.
Dalam lingkup internal,
pembatasan ruang gerak juga dilakukan. Bayangin semua tempat dan kegiatan di
kota yang umumnya dihadiri banyak orang bubar semua. Sekolah diliburkan, orang
disuruh kerja di rumah, tempat wisata ditutup, mall ditutup, tempat makan
ditutup.. Bagai suasana Jakarta saat lebaran tapi lebih sepi…
Contoh lockdown paling gila-gilaan yaitu di Cina. Pada akhir Januari lalu, pemerintah Cina mengunci kota muasal virus COVID-19, Wuhan. Akses transportasi umum seperti bus, kereta, dan pesawat ditutup. Tak lama kemudian, lockdown juga diterapkan ke 11 kota lain di provinsi Hubei dan mengekang lebih dari 50 juta penduduk. Di beberapa kota, teknik lockdown-nya lebih garang lagi: hanya satu orang per rumah yang boleh keluar rumah, itu pun hanya dua hari sekali.
Ga perlu jadi pengamat ekonomi atau politik deh.. kenapa Pemerintah Indonesia masih ragu untuk melakukan Lockdown. Ga ada kegiatan di ruang public berarti ga ada perputaran ekonomi, Keuangan negara hancur, Pemasukan dari perdagangan dan pariwisata anjlok.
Mati listrik di Jakarta dan di Jawa Barat belum sehari aja Industri merugi ratusan miliyar per jamnya. Resiko perubahan dari Lockdown itu sangat besar.
Lockdown berdasarkan pemberitaan memang terbukti ampuh. Masuk logika sih.virus menyebar dari orang ke orang, jadi cara paling gampang membatasinya adalah dengan melarang orang berkumpul di ruang publik, di mana mereka dapat saling menulari.
Seperti Cina yang melakukan lockdown besar-besaran, jumlah kasus baru melamban dengan drastis. Pada bulan Februari, jumlah pasien baru COVID-19 bisa mencapai 3,000 orang per hari. Pekan lalu, mereka hanya melaporkan 26 kasus baru. Konsukuensi yang ditanggung juga cukup besar. Cina cekatan untuk melakukan itu dikarenakan mereka negara otoriter. Beda halnya dengan Italia ketika diumumkan terjadi protes dan kerusuhan. Banyak negara ngeri melakukan Lockdown karena ga berani dengan konsukuensinya.
Nasib Pekerja di Indonesia.
Banyak sekali pekerja di
Indonesia yang bekerja di lapangan bahkan upahnya harian. Gimana nasibnya?
Kebijakan otoriter untuk melakukan lokdown bakal merugikan usaha kecil karena
ketergantungan dari kehadiran langsung di lapangan.
Seorang selebgram, copywriter, desainer, freelancer atau pekerja kantoran sih enteng-enteng aja nyuruh semua orang bekerja dari rumah. Tapi buat pegawai lapangan, Ojek Online atau kuli bangunan kan ga bisa “work from home.” Mereka mesti hadir secara fisik setiap hari supaya dapat pemasukan. Banyak di antara mereka yang diupah secara harian. Bila dilarang, belum tentu mereka memiliki tabungan cukup untuk membiayai ongkos sehari-hari selama sekian bulan lockdown.
Perusahaan multinasional boleh aja kosongin kantor dan beroperasi dari jarak jauh. Tapi, usaha kecil dan menengah seperti warung, atau toko kelontong bisa bubar jalan bila lockdown dilakukan. Belum lagi pedagang asongan, warung pinggir jalan, dan gerobak dorong
Belum lagi masih banyak warga Indonesia belum terdaftar BPJS Kesehatan dikarenakan “tidak ada penghasilan tetap” Bahkan ada yang sampai nunggak sehingga BPJSnya ga dilanjutkan.
Klo dilakukan Lockdown,
tentu puluhan juta orang Indonesia bakal sengsara. Dilema sekali bukan?
Tapi Negara lain bisa.. Masa Indonesia ga bisa?
Berbeda sekali kawan..
Paket stimulus ekonomi yang menggenjot roda perekonomian yang padam akibat
wabah tersebut tidaklah sedikit. Contohnya nih
Hong Kong. Bantuan tunai sebanyak 10,000 dollar Hong Kong, atau
setara 1,284 dollar AS, untuk semua penduduk dewasa di Hong Kong. Pemerintah
Hong Kong juga akan memotong pajak penghasilan untuk dua juta orang pekerja,
dan memangkas pajak untuk perusahaan dan pelaku usaha.
Italia juga telah mengumumkan jaminan sosial serta paket stimulus
ekonomi. Mereka menganggarkan 28 miliar dollar untuk mendongkrak
perekonomiannya serta membantu warga yang paling terdampak krisis
COVID-19. Keluarga yang memiliki anak berusia di bawah
12 tahun diberikan cuti
berbayar serta voucher yang menanggung sebagian biaya pengasuhan anak.
Pemerintah juga mengumumkan penghentian pembayaran hutang masyarakat ke bank,
termasuk pembayaran cicilan rumah.
Di Selandia Baru, pemerintah Selandia Baru
merampungkan dana 12 miliar dollar yang juga termasuk
subsidi gaji bagi pekerja, tunjangan tunai untuk pekerja yang cuti karena sakit
atau karantina, serta perluasan layanan kesehatan. Pelaku usaha, terutama usaha
kecil, juga akan menerima akses ke modal untuk mencegah usaha kecil
bangkrut.
Sementara di Denmark , pemerintah akan mengganti 75 persen gaji mayoritas pekerja
yang tak dapat beraktivitas seperti biasa karena wabah COVID-19. Baru-baru ini, Singapura juga mengumumkan Program Dukungan
Lapangan Kerja yang akan mensubsidi sebagian gaji pekerja selama tiga
bulan.
Di Australia berencana memberikan bantuan langsung
tunai sebanyak 750 dollar Australia kepada warga negara dengan pendapatan di
bawah rata-rata.
Konsekuensi dari
kebijakan lintas negara ini udah jelas. Semisal Indonesia beneran mau
di-lockdown, pemerintah kita harus terlebih dahulu menjamin hak warganya yang
termiskin sekalipun. Bila enggak, lockdown adalah tindakan sadis dan ga
efektif, Kasus dua orang sopir ojek online yang kabur dari karantina karena
takut kehilangan pemasukan sudah menjadi bukti bahwa bagi orang-orang paling
rentan di negeri kita, kemiskinan adalah wabah yang lebih ngeri dari Corona.
bagi orang-orang paling rentan di negeri kita, kemiskinan adalah wabah yang lebih ngeri dari Corona.
Lockdown adalah solusi terakhir.
Lockdown adalah solusi
terakhir ketika pemerintah tak memiliki kapasitas memadai untuk melakukan tes
COVID-19 secara massal. Jika deteksi dini dapat dilakukan dengan cekatan dan
masif, serta masyarakat gigih mengamalkan social distancing, sebetulnya
lockdown dapat dihindari.
Korea Selatan,
misalnya, tidak melakukan lockdown. Tetapi penanganan wabah mereka cenderung
efektif karena sistem tes COVID-19 mereka luar biasa efektif. Melalui sistem
tes drive-through, Korsel dapat memproses sekitar 20 ribu tes COVID-19 dalam
sehari. Selain melakukan tes secara massal, Korsel juga mengedepankan sistem
“trace, test, and treat” yang memberi wewenang lebih bagi aparat untuk melacak
pergerakan seseorang yang dikonfirmasi positif COVID-19. Hal ini memungkinkan
pekerja medis memetakan siapa saja yang berisiko terpapar virus, dan melakukan
penanganan dini.
Namun, tunjangan untuk
masyarakat miskin tidak harus menunggu lockdown. Tanpa lockdown sekalipun,
usaha dari berbagai sektor sudah merugi habis-habisan. Korea Selatan juga punya
program stimulus ekonomi yang bertujuan mendongkrak perputaran uang di
negaranya, dan program tersebut juga termasuk tunjangan tunai.
Tiga triliun won
dianggarkan untuk mensubsidi usaha kecil menengah yang kesulitan membayar gaji
pegawainya, serta untuk mensubsidi program pengasuhan anak-anak dan layanan
kesehatan. Pemerintah juga akan memberikan pinjaman dengan bunga ringan untuk
eksportir dan pengusaha yang terdampak krisis COVID-19, serta memulai program
pelatihan kerja gratis untuk siapa saja yang kehilangan pekerjaan.
Sekadar melarang orang
keluar rumah atau mengunci satu provinsi tidak cukup untuk menghalau penyebaran
COVID-19. Suka atau tidak, sistem pengetesan COVID-19 yang luwes dan masif
serta jaminan sosial untuk orang-orang paling rentan mesti dilaksanakan. Kita
justru dapat belajar banyak dari para oppa dan noona di Korea Selatan yang
menunjukkan bagaimana menangani suatu bencana dengan tegas tapi tetap
manusiawi.
Yah itulah pemikiran dangkal gw pribadi berdasarkan kasus dan pemberitaan dari berbagai sumber...
Orang rumah udah sering bilang jangan keluar rumah... dari Whatsapp berbagai grup udah banyak mewaspadai.. tapi gw pribadi masih ngeyel aja keluar rumah. Secara kerjaan gw harus koneksi internet. dan parahnya di rumah ga bisa dipasang jaringan internet (Biznet / Indihome) dengan alasan ODP (Optical Distribution Point) full.. Ga logis di era serba digital lokasi kota aja masih kepentok jumlah ODP yang terbatas.
Mau ga mau yah harus cari tempat jaringan internet yang mumpuni T.T. auto keluar rumah.. klo ga keluar rumah, Kerjaan numpuk.
0 komentar:
Post a Comment